Syekh Siti Jenar – Pandangan Murid-Murid tentang ajaran beliau

Pengeran Panggong

“….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”

“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).

“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”

“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2].

” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”

“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2].

“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”

“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”

“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir. [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3].

Syekh Amongraga

”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.

Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela. Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.

Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula

“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”

“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”

“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” [Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18]

Ki Bisono

Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:

“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”

“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”

“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”

“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”

“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”

“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.”

“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”

“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”

“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”[Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45].

Ki Lonthang Semarang

“Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”

“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”

“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”

“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.”

“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”

“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”

“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. [Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20].

“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”

“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” [Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 25-36].

Sunan Panggung – Khutbah

“Banyak orang yang gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”

“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.

Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara.

Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”

“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram.

Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”

“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”

“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”

“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” [Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4].

Sunan Geseng - Kematian

“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”

“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”

“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.” [Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 29-31]

Shalat (tarek dan Daim)

Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.

Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.

Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).

Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.

(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).

Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.

Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.

Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).

Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.

Seterusnya[Next]:- Syekh Siti Jenar – Pengertian Solat

No comments:

Post a Comment